ABDULLAH BIN UMAR

Perpecahan Umat

Di samping letak wilayah yang luas, pertikaian antarkaum Muslimin pun membuat mereka terpecah menjadi beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata. Membuat suasana tidak memungkinkan bagi lahirnya kesepakatan mutlak yang di harapkan oleh Abdullah bin Umar.

Suatu hari Ibnu Umar bertemu dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu pun berkata.  

“Tidak ada seorang yang lebih buruk perlakuannya kepada umat Muhammad selain dirimu.”

Ibnu Umar membalas, “Mengapa demikian? Demi Allah, aku tidaklah menumpahkan darah mereka. Tidak pernah memecah belah mereka, dan tidak pula memberontak terhadap mereka.”

Laki-laki itu pun berkata, “Karena engkau hanya menginginkan semua orang untuk sepakat denganmu.”

Ibnu Umar menjawab, “Aku tidak menginginkan kekhalifahan itu berada padaku sementara ada yang menyetujuinya dan sebagian yang lain tidak menyetujuinya.”

Ketika berbagai peristiwa semakin berkembang seolah tiada berujung dan kekhalifahan berada di tangan Mu’awiyah kemudian beralih kepada putranya, Yazid. Umat masih tetap berharap kepada Ibnu Umar untuk mau memegang tampuk kekhalifahan.

Harapan itu masih tetap ada, bahkan ketika Mu’awiyah II, putra Yazid, yang baru beberapa waktu menduduki jabatan khalifah. Lantas meninggalkannya karena sikap zuhudnya, harapan umat terhadap Ibnu Umar tidak pernah surut sampai pada hari itu. Padahal pada waktu itu Ibnu Umar telah menjadi orang tua renta yang berusia lanjut.

Suatu ketika Marwan menemui beliau dan berkata, “Kemarikan tanganmu untuk kami bai’at! Engkau adalah pemimpin Islam dan putra pemimpin Islam!”

Ibnu Umar berkata, “Apa yang akan kita lakukan terhadap penduduk wilayah Timur (mayriq)?

Marwan menjawab, “Kita serang mereka hingga mau berbaiat”

Ibnu Umar berkata, “Demi Allah, aku tidak ingin dalam usiaku yang sudah mencapai tujuh puluh tahun ini ada satu orang terbunuh karena aku”.

Kemudian Marwan pun meninggalkan Ibnu Umar sambil melantunkan syair.

“Aku melihat api fitnah telah mendidihkan periuk. Sesudah Abu Laila (Mu’awiyah bin Yazid), kekuasaan hanya bagi pemenang lagi perkasa.”

Prinsip Yang Kuat

Penolakan untuk menggunakan kekuatan dan pedang inilah yang membuat Ibnu Umar menghadapi fitnah bersenjata. Antara para pendukung Ali dan pendukung Mu’awiyah. Bersikap netral dan tidak ingin ikut campur. Ia memiliki sebuah slogan dan prinsip seperti yang terucap dalam kalimat berikut:

“Siapa yang menyeru: ‘Marilah shalat!’ maka aku memenuhinya.

Siapa yang menyeru: ‘Marilah menuju kejayaan!” maka aku pun memenuhinya

Namun, siapa yang menyeru: ‘Marilah kita bunuh saudara sesama muslim dan kita rampas hartanya, maka aku katakan: Tidak’!”

Namun, meskipun di dalam pengasingan diri dan sikap netralnya, Ibnu Umar tetap tidak membiarkan kebatilan. Saat berada di puncak kekuasaan, Mu’awiyah pernah melontarkan tantangan yang menyakitkan dan membebani. Bahkan mengeluarkan ancaman untuk membunuhnya.

Maka Ibnu Umar menjawab, “Andai saja ada seujung rambut yang menghubungkan antara diriku dan umat, rambut itu tidak akan putus.”

Suatu hari al-Hajjaj berdiri untuk menyampaikan pidato. Al-Hajjaj berkata, “Ibnu Zubair telah mengubah Kitab Allah.” Seketika itu Ibnu Umar meneriakinya. “Engkau telah berdustal!… sebanyak tiga kali dan di ulanginya lagi Engkau telah berdusta!… Engkau telah berdusta!”

Al-Hajjaj seolah kehilangan muka dan tersentak oleh kejutan itu, padahal ia adalah orang yang di takuti. Ia pun lantas melanjutkan pembicaraan dan mengancam akan memberikan balasan yang buruk. Ibnu Umar menunjukkan tangannya ke wajah al-Hajjaj dan di hadapan orang-orang yang merasa takjub ia menjawab: “Jika engkau lakukan ancamanmu, itu tidaklah mengherankan karena engkau adalah seorang bodoh yang berkuasa!”

Meskipun sangat kuat dan pemberani, tetapi sampai akhir hayatnya, Ibnu Umar berusaha keras agar tidak memiliki peran atau andil apa pun dalam setiap fitnah bersenjata yang terjadi. Dalam fitnah itu, ia tidak mau berpihak kepada salah satu kelompok mana pun.

Di Hati Kecil Abdullah Bin Umar

Abu al- Aliyah al-Barra’ menceritakan, “Suatu hari, aku berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa di sadari olehnya. Aku mendengar ia berbicara sendiri: ‘Mereka meletakkan pedang di atas pundak-pundak orang lain lalu saling membunuh satu sama lain. Mereka berkata: “Wahai Abdullah bin Umar, ulurkanlah tanganmu!”

Duka dan kesedihan Ibnu Umar sangat mendalam saat melihat darah kaum Muslimin mengalir oleh sesamanya. Ibnu Umar, sebagaimana telah kita bahas di awal pembicaraan tentang dirinya. Beliau tidak pernah membangunkan seorang mukmin pun dari tempat tidurnya.

Andai saja beliau mampu mencegah peperangan dan melindungi darah kaum Muslimin, pastilah akan beliau lakukan. Namun, peristiwa yang terjadi pada saat itu, sungguh di luar kemampuannya. Oleh karena itu, beliau pun lebih memilih menjauhkan diri dari semuanya itu.

Hati Ibnu Umar sejatinya berpihak kepada Ali, bahkan tampak pula keyakinannya bahwa Ali-lah yang berada di pihak yang benar. Hal ini terbukti pada akhir hayatnya beliau berkata, “Aku tidak pernah merasakan penyesalan terhadap sesuatu pun di dunia, kecuali satu hal. Yaitu tidak ikut berperang bersama Ali untuk memerangi kelompok yang melampaui batas.”

Meskipun Ibnu Umar tidak ikut berperang bersama al-Imam Ali yang berada di pihak yang benar. Sikapnya yang demikian itu bukanlah untuk melarikan diri ataupun mencari keselamatan. Melainkan untuk menolak atas segala perselisihan dan berbagai fitnah.

Selain itu, untuk menghindari perang yang terjadi bukan antara seorang muslim dan seorang musyrik. Melainkan antara sesame kaum muslim yang saling menyerang satu sama lain.

Hal itu tampak dengan jelas ketika Ibnu Umar di tanya oleh Nafi’ yang berkata. “Wahai Abu Abdurrahman, engkau adalah Ibnu Umar dan engkau adalah sahabat Rasulullah. Namun, apa yang mencegahmu dari hal ini-maksudnya berperang membela Ali?

” Ibnu Umar menjawab, “Alasannya, semua itu tiada lain karena Allah telah mengharamkan darah seorang muslim. Allah berfirman,

وَقٰتِلُوۡهُمۡ حَتّٰى لَا تَكُوۡنَ فِتۡنَةٌ وَّيَكُوۡنَ الدِّيۡنُ لِلّٰهِ‌ؕ فَاِنِ انتَهَوۡا فَلَا عُدۡوَانَ اِلَّا عَلَى الظّٰلِمِيۡنَ

‘Dan perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah: 193)

37 Likes

Author: wijaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *