
Anekadongeng.com | Biwar sang penakluk naga . Alkisah, di sebuah hutan rimba Papua, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Biwar. Dia bukanlah anak biasa. Biwar tumbuh dalam dekapan kasih seorang ibu yang penuh cinta dan keteguhan hati. Sang ibu, satu-satunya keluarga yang dimiliki Biwar.
Masa Kecil Biwar
Dia membesarkan Biwar dengan kelembutan. Tak hanya itu, sang ibu mengajari Biwar bertahan hidup dan menghargai alam. Biwar kecil belajar memanah dari sang ibu. Dengan penuh kesabaran, ibunya mengajari Biwar, sampai dia mendapatkan buruan pertamanya.
Tak lupa sang ibu berpesan untuk selalu berterima kasih kepada alam, dan mengambil secukupnya saja. Sang ibu ingin Biwar kelak menjadi anak yang tangguh dan mandiri. Tetapi, di balik kasih sayangnya, sang ibu menyimpan sebuah rahasia besar, takdir yang menanti putranya kelak.
Beberapa tahun kemudian, Biwar tumbuh menjadi pemuda yang tampan, kuat, dan gagah perkasa. Setiap pagi, dia bangun sebelum matahari terbit untuk mempersiapkan perlengkapan berburunya. Biwar berjalan menyusuri rimba mengikuti jejak rusa dan suara burung, mencari hewan buruan tanpa pernah merusak keseimbangan alam.
Saat siang menjelang, Biwar menuruni lereng menuju sungai yang jernih. Dengan cekatan, dia menangkap ikan. Biwar selalu mencari secukupnya agar sungai tak pernah kehabisan ikan. Semua yang dia lakukan bukan semata untuk bertahan hidup. Tetapi sebagai wujud baktinya kepada sang ibu dan tanah yang telah membesarkannya.
Hidup di dalam gua sudah tak lagi nyaman bagi Biwar dan ibunya. Setiap hari, dinginnya dinding batu dan lembabnya udara membuat mereka merindukan tempat yang lebih hangat. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membangun sebuah rumah.
Kehidupan di hutan
Keduanya mulai mengumpulkan bahan-bahan dari alam. Dengan tangan terampil, Biwar membangun sebuah rumah sederhana. Rumah itu dikenal sebagai Honai. Rumah adat masyarakat Papua, terbuah dari kayu yang kokoh dengan atas berbentuk kerucut dan ilalang kering.
Suatu hari, Biwar baru saja pulang dari mencari ikan di sungai. Dia membawa beberapa ekor ikan yang besar.
“Mama, Mama, cepat keluar, Lihat ini, saya berhasil tangkap ikan. Ikan yang besar-besar, banyak sekali, Ma
“Oh, aduh anakku, astaga. Ini besar sekali ikan-ikan ini, Nak. Wah, Mama sampai tak percaya. Dari mana kau dapat ikan sebanyak dan sebesar ini ya?”
“Saya tangkap di sungai yang dalam sekali mah. Di sungai itu, banyak sekali ikan. Terus ada pemandangan disekitarnya indah sekali mah”.
“Tunggu, apakah di sana banyak pohon sagu ?
“Ya, betul sekali itu, Mama. Saya punya rencana nanti mau ambil sagu di sana untuk kita makan”.
“Jangan biwar, kamu jangan pernah sekalipun kembali ke tempat itu.”
“Tapi, Mama, di sana banyak…”
“Tidak bisa, Biwar. Tidak cukup kau cari makan di sini saja. Di sini banyak bahan makan yang bisa kau ambil. Mama mohon, tak usah kau pergi berburu ke tempat itu. Aku tak mau kau kenapa-kenapa? Mama tak bisa bayangkan kalau sampai ada apa-apa denganmu di sana. Tolong. Tolong dengar omongan mama, anakku. Ini semua demi kebaikanmu.”
Ayah Biwar
Biwar hanya terdiam karena ibunya sudah sangat marah. Dia pun membawa ikan-ikan itu dan pergi meninggalkan sang ibu untuk mengolahnya sebagai makanan nanti malam. Setelah selesai makan malam, biwar sangat penasaran. Kenapa ibunya begitu marah kepadanya?
“Mama, kenapa Mama melarang saya ke tempat itu? Sampai Mama marah besar sekali.”
“Hah, baiklah. Mungkin sudah saatnya kau tahu cerita yang sebenarnya.”
Setiap persediaan sagu, suku mimika semakin menipis. Beberapa warga laki-laki dan perempuan, termasuk ayah dan ibu pergi untuk mencari sagu dengan menggunakan perahu.
Saat itu kondisi ibu biwar tengah hamil tua. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur, mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman. Karena perjalanan tersebut memakan waktu sekitar 2-3 hari.
Kampung suku mimika adalah penduduk yang memiliki warisan turun temurun dari nenek moyang. Yaitu memangkur sagu. Laki-laki maupun perempuan selalu pergi untuk mencari… dan memangkur pohon sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu.
Setelah beberapa lama menyusuri sungai. Tiba-lah mereka di suatu tempat yang banyak di tumbuhi pohon sagu. Dengan begitu semangat, para lelaki mulai menebang pohon sagu untuk diambil saripatinya. Mereka berbagi tugas dengan kaum perempuan.
Hingga akhirnya, saripati sagu mereka masukkan ke wadah yang di sebut dengan tumang. Setelah semua tumang yang sudah berisi sagu dinaikan, rombongan ayah dan ibu biwar. memulai perjalanan pulang menyusuri sungai yang tenang.