Anekadongeng.com | Cermin Matsuyama. Dahulu kala di Jepang kuno seorang pria bernama Akiyo tinggal bersama istrinya yang cantik bernama Sakura. Mereka sangat mencintai satu sama lain dan menikah selama beberapa tahun. Mereka di berkati dengan seikat sukacita seorang Putri cantik yang di beri nama junka.
Jun dalam bahasa Jepang berarti murni dan sederhana. Junka yang manis tumbuh dengan cepat baru kemarin dia masih bayi dan sekarang dia berumur 7 tahun dan belajar berbicara.
Suatu hari Akio di panggil ke Matsuyama untuk urusan bisnis, meskipun dia senang dia sedih untuk meninggalkan istri dan putrinya. Sakura sangat sedih kaena akan berpisah dengan suaminya untuk waktu yang agak lama. Namun Junka adalah satu-satunya yang tersenyum mengabaikan kesedihan perpisahan. Dia berpikir ayahnya akan pergi ke desa terdekat dan tidak akan lama.
Lalu Junka meminta ayahnya, pada saat pulang untuk di bawakan hadiah yang banyak. Kemudian ayahnya segera pergi dan Sakura dan Junka melepas kepergian ayahnya.
Beberapa minggu berikutnya kehidupan mereka sangat sulit. Sakura menenun pakaian musim dingin dan di sela-sela itu dia juga bermain dengan junka. Sakura dengan sabar mengajari junka membaca. Dengan kesibukan itu dia menemukan penghiburan dalam menjalani hari-hari sepi suaminya tidak ada.
Waktu berlalu dengan cepat dan Akio selesai dari perjalanan kerjanya dan kembali ke rumah dengan hadiah yang seperti dia janjikan pada anaknya.
“Ayah punya kejutan untukmu, ini adalah hadiah untuk mengurus rumah dan juga Ibu”
“Terima Kasih Ayah…. Wow boneka ini begitu cantik aku senang”
Masa Kecil Junka
Mendengar anaknya sudah bisa bicara, hati Akiyo merasa sangat senang. Kemian Ia mendekati istrinya untuk memberikan hadiah. Akiyo membuka keranjang bambu dan memberikan kotak kayu persegi kepada istrinya.
“Ini untukmu”
Sakura menemukan piringan logam dengan pegangan satu sisi cerah dan berkilau seperti air jernih. Dia menatap ke piringan yang bersinar. Sakura terkejut karena ada bayangan perempuan cantik di pringan tersebut.
“Siapa wanita cantik ini, apa yang kau berikan padaku ini Sayang?”
“Itu wajahmu sayang, di sebut cermin. Siapapun yang melihat ke permukaan yang jernih dapat melihat pantulan wajahnya. Ada pepatah lama seperti, pedang adalah jiwa seorang Samurai demikian pula cermin adalah jiwa seorang wanita”.
Pikiran Sakura terpesona oleh konsep cermin ini secara tradisional Cermin Wanita adalah indeks hatinya sendiri. Jika dia membuatnya cerah dan jernih maka hatinya murni dan baik.
“Gunakan dengan hati-hati cintaku”
“Jika cermin ini mewakili jiwaku, aku pasti akan menghargainya”
Sakura dengan senang hati menerima hadiah itu dan mengembalikan piringan logam itu ke dalam kotak dan menyimpannya. Waktu berlalu dengan damai dan Junka berusia 16 tahun dia menghibur ibunya saat dia ikut serta dalam menjaga kerapihan rumah.
Akiyo teringat akan istrinya setiap hari ketika dia menikahinya bertahun-tahun yang lalu karena Anaknya mirip dengan Sakura. Tapi ternyata di dunia ini tidak ada yang abadi, Sakura suatu hari jatuh sakit. Awalnya mereka mengira itu pilek tapi menjadi lebih buruk. Merasakan hidupnya tidak akan selamat, ia memanggil Junka.
Wasiat Ibu
“Anakku saat Ibu pergi berjanjilah pada ibu kau akan menjaga ayahmu dan Jadilah anak yang baik dan berbakti”
Junka berusaha menyembunyikan rasa sakit dan sedih di hatinya dengan senyum ceria.
“ibu kau seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu sekarang, Istirahatlah kamu akan segera sembuh”
Sakura meraih bantalnya dan mengeluarkan sebuah kotak kayu persegi. Itu adalah piringan logam cermin yang di berikan Akio padanya bertahun-tahun yang lalu.
“Ayahmu memberikan hadiah berharga ini untuk ibu dan ini di sebut cermin. Saat Ibu pergi dan kau ingin melihat ibu tetaplah ke permukaan jernih dan ibu akan mengunjungimu. Meskipun kita tidak bisa berbicara tapi ibu bisa melihatmu, ibu akan mengerti perasaanmu”.
Itu adalah kata-kata perpisahan Sakura dengan anak dan suaminya. Tidak begitu lama Sakura pun meninggal dunia.
Akio dan Junka merasa sedih, mereka merasa tidak mungkin menghadapi kenyataan pahit. Setelah ledakan kesedihan ini mereka perlahan-lahan menguasai hati mereka yang hancur. Akiyo mulai kembali bekerja dan Junka kembali dengan kesibukan rumah.
Suatu hari ketika hujan turun Junka sangat sedih karena rasa rindu dan teringat dengan ibunya. Cinta Junka pada ibunya tidak berkurang seiring waktu hatinya sakit karena Kerinduan dan dia ingin melihatnya sekilas. Kemudian ia teringat akan hadiah yang di berikan oleh ibunya.
“Ooh.. betapa bodohnya aku, aku hampir lupa tentang hadiah itu”
Detak jantung juga berdebar lebih cepat, kemudian dia menatap ke permukaan cermin yang jernih dan lihatlah kata-kata ibunya benar.
“Astaga itu pasti jiwa Ibuku, dia tahu betapa menyedihkannya aku dia datang untuk menghiburku”
Junka dalam kesederhanaan hatinya yang polos percaya bahwa bayangannya sendiri adalah jiwa ibunya. Tapi sekarang beban kesedihan sangat meringankan hatinya.