Nasab dan Kelahiran Sunan Giri
Anekadongeng.com | Ibu Sunan Giri adalah Dewi Sekardadu, putri bangsawan dari wilayah Kerajaan Blambangan atau Banyuwangi. Ayahnya bernama Maulana Ishak, yang merupakan mubaligh dari Asia Tengah. Dalam hikayat Banjar di sebutkan bahwa Sunan Giri masih mempunya garis keturunan dari Kesultanan Samudera Pasai, Kerajaan Majapahit, dan salah satu kerajaan di Bali.
Menurut catatan dari Saadah Baalawi dari Hadramaut, nasab Sunan Giri sampai ke Nabi Muhammad SAW dari jalur Husain bin Ali RA, Ali Zainal Abidin, dan seterusnya.
Kisah kelahiran Sunan Giri bermula dari wabah pagebluk yang terjadi di kerajaan Blambangan dan putri Dewi Sekardadu juga terkena wabah tersebut. Hal ini membuat Raja Blambangan membuat sayembara, bagi siapa saja yang bisa menyembuhkan putri dan menghilangkan wabah akan di nikahkan dengan Dewi Sekardadu.
Akhirnya Maulana Ishak berhasil menyembuhkan dan menghilangkan wabah di Blambangan. Kemudian beliau menikah dengan Dewi Sekardadu, dan meminta syarat tambahan kepada mertuanya untuk masuk Islam. Akibat dari hasutan sang patih, Menak Sembuyu menjadi marah karena di minta meninggalkan keyakinan lamanya.
Akibatnya, Maulana Ishak di usir dari Blambangan. Saat itu, istri Maulana Ishak, Dewi Sekardadu, sedang hamil tua. Mereka di paksan pisah, Dewi Sekardadu tetap di Blambangan, sementara Maulana Ishak meneruskan perjalanannya ke daerah lain. Sebelum kepergiannya maulana Ishak berpesan kepada istrinya, jika bayinya lahir untuk di beri nama Raden Paku.
Ketika Raden Paku masih berumur 40 hari, Blambangan kembali di landa pagebluk, dan Menak Sembuyu berkeyakinan bahwa pagebluk itu berkaitan dengan bayi laki-laki Maulana Ishak yang di lahirkan putrinya Dewa Sekardadu. Pada akhirnya untuk mengusir wabah, bayi itu di letakkan di sebuah peti dan dihanyutkan ke tengah laut.
Ketika peti kayu tersebut di hanyutkan ke laut, peti tersebut tersangkut di kapal milik pedagang yang bernama Nyai Pinatih yang pada saat itu sedang bertolak ke Bali. Setelah peti tersebut di buka dan berisi bayi, maka bayi tersebut di ambil menjadi anak angkat oleh Nyai Pinatih. Kemudian bayi tersebut di beri nama Joko Samudro karena di temukan di tengah laut atau samudra. Ketika sudah beranjak dewasa, Joko Samudro kemudian di pondokkan di pesantren Ampeldenta, Surabaya.